Para musisi Indonesia masih berseteru soal royalti performing rights. Mereka terpecah menjadi dua kubu. Kelompok musisi yang tergabung dalam VISI mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Di kubu seberang, ada sejumlah musisi yang tergabung dalam AKSI mengajukan solusi alternatif, yaitu Direct License. Bagaimana perjalanan kasus yang masih bergulir ini?
Nazril Ilham, yang lebih dikenal sebagai Ariel NOAH, bersama dengan 28 musisi lainnya mengajukan gugatan terhadap UU Hak Cipta kepada Mahkamah Konstitusi pada 7 Maret 2025 lalu.
Gugatan tersebut telah terdaftar dengan nomor 33/PUU/PAN.MK/AP3/03/2025.
Selain Ariel, ada sejumlah artis yang mengajukan gugatan ini. Mereka adalah Armand Maulana, Vina Panduwinata, Titi DJ, Judika, Bunga Citra Lestari, Rossa, dan Raisa
Nama-nama lainnya juga terlibat dalam upaya hukum ini, seperti Nadin Amizah, Bernadya, Nino RAN, Vidi Aldiano, Afgan, dan Ruth Sahanaya.. Penyanyi Yuni Shara, Fadly Padi, Ikang Fawzi, Andien, Dewi Gita, serta Hedi Yunus ikut pula melayangkan gugatan ke MK.
Selain itu, ada pula artis Mario Ginanjar, Teddy Adhitya, David Bayu, hingga Tantri Kotak. Gugatan ini juga dilayangkan artis Danar Widianto, Ghea Indrawari, Rendy Pandugo, Gamaliel Tapiheru, dan Mentari Novel.
Ini adalah rangkaian terbaru dari kisruh mengenai hak cipta setelah keluarnya putusan pengadilan yang menghukum penyanyi Agnez Mo untuk membayar denda sebesar Rp1,5 miliar kepada pencipta lagu Ari Bias. Ariel dan rekan-rekannya sesama penyanyi khawatir akan kena denda serupa atau dilarang membawakan lagu-lagu yang diciptakan orang lain.
Dengan kata lain, yang dipersoalkan adalah performing rights, hak eksklusif pencipta lagu dan penerbit untuk mengontrol dan mendapatkan kompensasi atas pertunjukan publik karya musik mereka.
Lima poin gugatan ke MK
Ada lima pokok gugatan yang menurut Ariel dan rekan-rekannya perlu direvisi di dalam UU Hak Cipta.
Poin pertama berkaitan dengan Pasal 9 Ayat 3 UU Hak Cipta, di mana mereka meminta pasal tersebut dinyatakan konstitusional dengan syarat bahwa penggunaan komersial suatu ciptaan dalam pertunjukan tidak memerlukan izin dari pencipta, tetapi tetap mewajibkan pembayaran royalti.
Poin kedua, mereka meminta agar frasa "setiap orang" dalam Pasal 23 Ayat 5 dapat dimaknai sebagai individu atau badan hukum penyelenggara acara pertunjukan. Dengan demikian, kewajiban membayar royalti bisa disesuaikan dengan kesepakatan antara pihak terkait, serta memungkinkan pembayaran royalti dilakukan sebelum atau sesudah pertunjukan.
Poin ketiga, mereka meminta MK menyatakan bahwa Pasal 81 UU Hak Cipta dapat dimaknai bahwa karya yang memiliki hak cipta dan digunakan secara komersial dalam pertunjukan tidak memerlukan lisensi dari pencipta, asalkan tetap membayar royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
Poin keempat, mereka menyoroti Pasal 87 Ayat 1 yang dianggap inkonstitusional jika tidak memberikan mekanisme lain bagi pencipta, pemegang hak cipta, atau pemilik hak terkait untuk memungut royalti secara non-kolektif atau secara diskriminatif.
Poin kelima, mereka meminta MK menyatakan bahwa ketentuan huruf f dalam Pasal 113 Ayat 2 UU Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum. "Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita negara Republik Indonesia," demikian bunyi petitum terakhir dalam dokumen gugatan
Mengapa gugatan dilayangkan ke MK?
Gugatan para penyanyi dan musisi ke Mahkamah Kasasi (MK) bergulir setelah putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang menghukum penyanyi Agnez Mo untuk membayar ganti rugi sebesar Rp1,5 miliar kepada penggugat Ari Bias.
Dalam putusan perkara, hakim menyatakan bahwa Agnez Mo menggunakan lagu ciptaan Ari Bias tanpa izin dalam tiga konser komersial. Ari Bias adalah pencipta lagu "Bilang Saja", salah satu lagu hits penyanyi Agnez Mo.
Perkara mulai didaftarkan sejak 11 September 2024 dan putusan keluar pada Februari 2025
AKSI versus VISI
Setelah pengadilan merilis putusan, Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) menyambut baik.
Akun Instagram @aksibersatu pada 3 Februari menulis "Putusan Pengadilan Niaga PN Jakarta Pusat Gugatan perkara Hak Cipta Ari Bias Vs Agnez Mo. Perjuangan hak cipta selama 1,5 tahun akhirnya telah diputuskan pengadilan dan memenangkan pencipta lagu. Salam AKSI!"
AKSI adalah kelompok yang didirikan oleh Ahmad Dhani dan Piyu dari band Padi pada 3 Juli 2023 dengan tujuan melindungi dan membela hak-hak pencipta lagu.
Puluhan musisi dan pencipta lagu tergabung dalam asosiasi ini meliputi Rieka Roslan, Badai, Anji Manji, Posan Tobing, dan Ari Bias. Akan tetapi, putusan pengadilan memicu kemunculan kelompok lain, yaitu VISI alias Vibrasi Suara Indonesia.
VISI didirikan sejumlah musisi seperti Armand Maulana, Baskara Putra, Ariel NOAH, Duta Sheila On 7, Bernadya, Vidi Aldiano, dll.
Di antara tuntutan VISI adalah "pastikan hak kami sebagai penyanyi dan pelaku pertunjukan mendapatkan perlindungan hukum yang layak."
Para musisi yang bergabung dalam VISI inilah yang mengajukan gugatan terhadap UU Hak Cipta.
Kasus-kasus pencipta lagu versus penyanyi/band
Sebelum kasus Agnez Mo vs Ari Bias mengemuka, ada serangkaian peristiwa yang juga menyoal hal serupa: kompensasi untuk para pencipta lagu ketika lagu tersebut dipentaskan atau performing rights.
Pada November 2022, penyanyi Rieka Roslan keluar dari band The Groove yang turut didirikannya sejak 1997. Di band ini dia juga menciptakan beberapa lagu hits yang meroketkan popularitas band.
Sebulan setelahnya Rieka melarang The Groove menyanyikan lagu-lagu ciptaannya.
Pada kurun waktu yang kurang lebih sama juga terjadi kisruh antara pencipta lagu Badai dengan penyanyi Sammy Simorangkir yang masih membawakan lagu-lagunya saat berada di band Kerispatih.
Pada 2022, bekas penggebuk drum band Kotak yang juga pencipta lagu, Posan Tobing, juga mengutarakan keberatannya karena lagu-lagu ciptaannya kerap dibawakan, tapi dia tidak mendapatkan keuntungan darinya.
Tahun berikutnya, keberatan ini dilanjutkan dengan larangan kepada Kotak untuk membawakan lagu-lagunya.
Pada 2023, pencipta mayoritas lagu-lagu Dewa Ahmad Dhani melarang bekas penyanyi band Once Mekel untuk membawakan lagu-lagu Dewa.
Para pencipta lagu di atas inilah yang kemudian bergabung dalam AKSI.
Pada tahun yang sama, mantan vokalis Stinky dan figur publik Andre Taulany disomasi pencipta lagu "Mungkinkah" Ndhank Surahman yang mengklaim menciptakan 85% lagu tersebut.
Kasus ini berlangsung hanya sebentar. Awal 2024, Ndhank Surahman menutup kasus dengan permintaan maaf.
Bagaimana nasib musisi kafe?
Ribut-ribut mengenai royalti tampaknya tidak terlalu dirasakan oleh para musisi kafe yang kerap membawakan lagu-lagu populer dalam repertoar mereka.
Musisi seperti Rachmat Adi, seorang session player yang memainkan keyboard di pesta-pesta perkawinan dan kafe-kafe mengaku tidak terlalu melihat dampak yang signifikan dari masalah ini.
"Masalah hak cipta atau performing right kayanya enggak terlalu pusing," tuturnya.
Dia mengaku tidak terlalu khawatir dengan perdebatan yang ada.
"Sekarang sih lebih ke masalah gimana maintain kerjaan aja. Sekarang rate penghasilan musisi kafe saja belum ada standar resminya. Gimana mau ngurusin masalah royalti lagu-lagu yang dibawain setiap manggung?"
Mengenai Undang-Undang Hak Cipta dan Performing Rights
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta merupakan regulasi yang mengatur hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya.
Aturan ini bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum atas karya yang dihasilkan oleh para kreator di berbagai bidang, termasuk industri musik.
Perlindungan itu akan memastikan pencipta dari penggunaan tanpa izin atau tidak memberikan manfaat bagi pemilik hak cipta.
Hak cipta dalam UU ini berlaku sepanjang hidup pencipta dan berlanjut hingga 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Dengan demikian para ahli waris juga mendapatkan manfaat dari karya tersebut.
Sekarang mari kita bayangkan sebuah lagu.
Seorang pencipta akan mendapat royalti untuk setiap kaset, CD, piringan hitam yang diproduksi. Ini namanya hak mekanik alias mechanical rights.
Ketika lagu atau potongan lagu tersebut digunakan dalam sebuah film, iklan, atau video maka pemegang hak cipta juga akan kecipratan royalti kembali. Ini namanya synchronization rights.
Saat seorang penyanyi menyanyikan lagu ciptaan seseorang di ruang publik maka harus ada juga royalti yang dibayarkan kepada pencipta lagu. Inilah yang namanya performing rights.
Di Indonesia, regulasi performing rights diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta. Dan lembaga yang bertugas mengutip royalti itu adalah Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Lembaga ini juga yang mendistribusikan royalti kepada pemegang hak cipta.
LMKN atau DDL?
Sejauh ini AKSI sudah melayangkan somasi dua kali kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), badan yang bertugas untuk menangani pengumpulan royalti penggunaan karya cipta lagu dan musik di Indonesia.
Kelompok VISI ingin tetap mempertahankan sistem LMKN serta kelonggaran untuk membawakan sebuah karya tanpa perlu izin kepada pemegang hak ciptanya.
Namun, Piyu, ketua umum AKSI, menyebut LMKN tidak transparan dalam distribusi royalti. Dia mengaku hanya mendapat Rp300.000 dari satu tahun royalti musiknya.
Kelompok AKSI lantas mengajukan alternatif mekanisme pembayaran royalti lewat platfom yang disebut Digital Direct License (DDL).
Dalam akun Instagram resminya, yang diunggah pada 11 Maret yang lalu, AKSI menyebut DDL adalah "solusi inovatif untuk memastikan transparansi royalti performing rights dalam pertunjukan konser musik dan live event di Indonesia. Dengan sistem ini, distribusi royalti menjadi transparan dan realtime."
Dalam video yang diunggah di akun tersebut, Piyu mengatakan mereka akan membangun platform ini dan bisa dimanfaatkan oleh para pencipta lagu. Inilah hybrid license.
"Pencipta lagu bisa memilih menggunakan blanket licence lewat LMKN, bisa juga direct license bersama AKSI supaya bisa memberikan manfaat dan kesejahteraan buat pencipta lagu."
0 Komentar